Sabtu, 06 November 2010

"Tenggelam" di Pantai Lokh Nga

KETIKA melihat penampilan sanggar Anak Ceria di Indonesia Mencari Bakat, tiba-tiba saya ingin bercerita tentang Aceh. Karena anak-anak tadi merupakan anak-anak korban tsunami Aceh lima tahun silam.
Sepotong cerita tentang Aceh, bermula ketika saya ditugaskan ke daerah Serambi Mekah. Sebenarnya, tidak ada hubungannya dengan liputan tsunami. Saya berangkat ke sana untuk peliputan Persib saat melawan Persiraja Banda Aceh, di Kompetisi Liga Utama, musim 2006-2007 lalu.
Setahun berlalu, luka tsunami sepertinya sudah terhapus saat saya menginjakkan kaki di Bandara Sultan Iskandar Muda. Beberapa supir taxi bermobil kijang, saling berebut mengantarkan saya bersama dua teman saya, Kang Gurney dan Kang Feri (fotografer dan wartawan PR) menuju hotel Sultan yang tidak jauh dari bandara.
Meskipun infrastruktur Aceh telah berangsur pulih, tetapi luka trauma rupanya masih dirasakan masyarakat sekitar. Seperti yang dilontarkan Abang (supir taxi) yang mengantarkan kami. Spontan dia bercerita ketika kami melewati jembatan. "Dulu waktu tsunami, sungai ini penuh dengan mayat," celetuknya.
Kesedihan dan rasa kehilangan pun diucapkannya, saat bercerita  keluarganya yang hilang tak berjejak karena tsunami. 
Belum selesai dia bercerita, akhirnya kami tiba di penginapan. Malam mulai larut dan kami langsung beristirahat. Memeluk mimpi, karena tugas liputan pagi menanti.
Jumat pagi, usai meliput latihan Persib, saya mendapat telpon dari seorang teman lama yang kebetulan bertugas di Aceh. Mahdi, (wartawan Kompas) rupanya akan mengajak kami berkeliling, sekedar kuliner menyantap makanan khas Aceh juga mengunjungi tempat bersejarah nan eksotik.
Dengan cuaca panas lembab, tidak banyak yang kami kunjungi. Terlebih lagi teman-teman saya harus menunaikan shalat Jumat. Saya pun kembali ke hotel untuk menulis mengirim berita. Wisata belum berakhir, karena Mahdi berjanji akan mengajak kami ke pusat jajanan Aceh, di Jln. Dipenogoro. Cukup dengan berjalan kaki menuju tempat sana.
Setelah pekerjaan selesai, dan usai shalat magrib, kami bergegas menuju lapangan di Jln Dipenogoro. Ingar bingar lampu malam kami nikmati di tengah musim kemarau kala itu. Segelas susu telur menemani obrolan kami kala itu. Juga menu lainnya yang kami pesan untuk menghilangkan kepenasaranan akan makanan khas Aceh. 
Sabtu pagi, tidak ada agenda latihan. Sore harinya, Persib akan bertandang ke kandang Persiraja. Maka, kesempatan itu kami manfaatkan untuk mengunjungi Pantai Lokh Nga. Tentu saja, atas referensi Mahdi, makanya kami penarasan untuk menjamah ombak dan batu karangnya. Karena, keindahan tidak tampak utuh tanpa menyelaminya. 
Pukul 05.30 WIB kami mulai bersiap. Rasanya tidak lengkap jika tugas peliputan tidak diselingi wisata. Atau berwisata sambil liputan? hahha..pokoknya niat liputan atau wisata intinya kan jalan-jalan, yang membuat hidup lebih menyenangkan.
Kami menggunakan labi-labi (semacam angkot) dengan duduk di belakang dan saling berhadapan. Perjalanan menuju terminal akhir cukup jauh memakan waktu 45 menit. Setelah sampai, kami berjalan kaki sekitar 1km menuju pantai. Sepanjang jalan, kami menikmati pemandangan yang mengagumkan. Banyak rumah kayu bertingkat yang baru dibangun dari bantuan pembangunan dunia USAID. Juga kedai-kedai kopi Aceh yang juga menjual roti ikan (roti berbentuk ikan, rasanya seperti kue cubit). 
Aroma pantai mulai terasa. Seperti suara ombak yang menyapa kami. Juga banyaknya rusa berkeliaran  bebas di sekitar rimba pinggiran pantai. Tidak sabar, saya ingin segera tiba. 
Langkah kaki kemudian berlari kecil, ketika saya melihat sebuah tugu dan nisan bertuliskan kuburan massal para korban tsunami. ya, kuburan massal itu hanya berjarak sekitar 100 meter dari pantai.
Akhirnya saya dapat menyentuh pasir pantai. Bersih dan putih. Juga batu-batu karang yang elok, membuat saya ingin duduk untuk sekedar menikmati pemandangan. Juga mengabadikan dengan jepretan kamera milik Kang Gurni dan Mahdi. Sungguh menyenangkan. Bebas bercengkrama dengan alam yang mengagumkan. 
Hmm... setiap bercerita tentang Aceh, selalu menenggelamkan saya di Pantai Lokh Nga.**












1 komentar: