Rabu, 24 November 2010

Untuk semesta alam..

maaf jika janji-janjiku sering kuabaikan
takut kalian kecewa,
aku nggak berani lagi membuat janji apapun
Sekarang, keadaan telah menyekapku
menyita waktunya
tanpa kompromi
terkurung dalam kesibukanku
memisahkan aku dengan duniaku yang lain
sahabat2ku, kadang juga keluargaku
semakin terpisahkan aku dengan mereka
kadang aku ingin marah
aku menjadi teralienasi
dari kehidupan di luar sana
yang katanya lebih indah dari yang ku tahu, kemarin
dalam sempitnya waktu,
aku ingin menyapa dunia dan mengatakannya,
aku kangen kalian
maafkan aku
karena selama ini,
mengabaikan dan mengalpakan kalian
***
masih tertegun di meja kantor, Rabu (24/11)

Senin, 22 November 2010

maaf, aku nggak bisa

SENIN (22/11) malam, ketika aku hendak bergegas piket, berkeliling Kota Bandung dan mencek kamar mayat, Damkar, dan situasi lainnya, seorang redaktur memanggilku. Aku harus meliput acara seminar tentang linkungan hidup di lantai 3. Masih satu atap dengan kantorku.

Jujur aku jemu meliput seminar, apalagi seharian ini aku mencicipi dua seminar. Bahasan seminar tadi siang soal ISO 9001:2008 dan Musrenbang Rencana Pembangunan Jangja Panjang Pemkot Cimahi. Sekarang, aku pun harus melahap seminar yang membuat aku merasa bosan. Apalagi, seminarnya berlangsung malam hari pukul 21.00 WIB. Dengan tempat yang penuh sesak. Bukan karena pesertanya banyak dan mereka antusias. Tapi seminar itu berlangsung di ruang rapat ukuran 6 kali 4 meter. Tanpa AC dengan jumlah tempat duduk terbatas. 

Karena tugas,  meskipun tanpa hati, aku melangkahkan kakiku menuju ruangan itu. Begitu masuk, auraku ingin segera keluar dari ruangan. Coz, aku lelah dan suntuk disuguhi seminar. Alasan lainnya, karena aku tidak memiliki kursi untuk duduk. Aku berdiri beberapa sesaat. Melihat layar infokus bergambar pohon. Mendengarkan si empu berbicara, entahlah aku tidak peduli dan tak mau tahu. Aku kadang hanya ingin melakukan yang aku mau. Tidak peduli dengan profesionalisme. Lalu tanpa basa basi, aku memutuskan untuk keluar dari ruangan, yang malam itu seperti neraka bagiku. 

Atas yang aku lakukan, aku siap menerima sanksi dari redakturku. Meski sebagai prajurit, aku tidak boleh mengatakan tidak, tapi untuk kali ini aku cuma ingin bilang, "Maaf, aku nggak bisa."  

Jumat, 19 November 2010

aku bangga istriku seorang penulis

Kamis 18/11 at 23.00 WIB
DALAM obrolan ringan  ketika baru tiba di rumah (pulang bekerja), sebuah buku tergeletak di atas kasur. Akhirnya kami terlibat dalam perbincangan seputar buku. Dalam buku yang saya lihat, ada komentar penulis yang mengutarakan rasa terimakasihnya kepada sang istri. Karena, istrinya  yang membantu dan membimbing si penulis hingga merampungkan bukunya.
Saya berceloteh kepada suami, kalau suatu hari dia menulis buku, nama saya harus dicantumkan dalam bukunya. Suami menolak (bercanda) dan akan bilang ucapan terimakasihnya ditujukan untuk semesta alam.
Suami malah membalikkan permintaan saya. "Sok aja (silahkan saja) ibu yang nulis buku dan ucapan terimakasih untuk aku".
Masih kata dia, "Kan nanti aku bangga istriku seorang penulis. Pamajikan urang mah penulis, sok ari pamajikan maneh naon?" Katanya masih dengan kemasan canda.
Saya jawab, "Bukankan sekarang saya sudah jadi penulis. Tulisan saya setiap harinya terpajang di halaman surat kabar (Galamedia)".
Dia menggelengkan kepala, katanya menjadi jurnalis banyak dilakukan banyak orang. Tetapi menjadi jurnalis dan penulis buku masih jarang dilakukan oleh banyak orang. Apalagi oleh seorang perempuan. "Kan aku nanti bangga punya istri penulis," katanya lagi.
Sebenarnya itu bukan obsesinya memiliki istri penulis. Tetapi ucapannya menjadi motovasi agar saya mau melanjutkan rencana menulis (novel) yang sudah lama tinggalkan.
Lalu saya menantangnya, one day saya bisa menyelesaikan "cerita" saya. Meskipun penokohan dan karakter yang saya bangun dalam "cerita" itu belum utuh dan kuat. Saya harus menyempurnakan karakternya. Hingga menyelesaikan ending yang menyenangkan (buat saya penulisnya). 
 Saya menantangnya dan akan membuktikan buku itu akan selesai secepatnya. "Kalau buku saya sudah selesai, kamu harus memberi hadiah," ucap saya sedikit merajuk. 
Suami saya, hanya menjawab, "Iya nanti dikasih hadiah. Pokoknya nulis dan selesaikan novel itu. Jangan beralasan tidak ada waktu untuk menulis."  ("_")...  

YO-YO M@N

PADA umur ke 25, saya mengenal yo-yo dan telah mewarnai kehidupan saya hingga saat ini. Begitulah ungkapan Oke Rosgana mengawali perbincangan dengan saya kemarin malam.
Rupanya bapa yoyo Indonesia ini, mengakrabi permainan sarat keterampilan itu di usianya yang telah matang. Tetapi baginya tidak ada kata terlambat untuk belajar. Boleh jadi filosopi dan keyakinan itulah yang membawanya meraup sukses hingga menjelama sebagai Yo-yo Man Indonesia. Tentunya pusarannya sudah mendunia. Tidak hanya seantero negeri ini, tetapi telah menjamah belahan benua lainnya, seperti Sudan-Afrika, Amerika dan negara-negara di Asia.
Sebuah benda berbenruk silinder dengan celah di tengah untuk dikaitkan tali, rupanya yang
mengantarkan pria kelahiran Bandung, 20 Oktober 1975 ini dapat melihat dunia yang lebih luas.
"Pertama kali bermain Yo-yo pada tahun 2000. Ketika itu saya hanya bermain sendirian dan terinspiasi pemain yo-yo dunia. Saat itu ada kontes memainkan Yoyo untuk mendapatkan hadiah Yo-yo seharga Rp 1 juta," katanya.
Karena tantangan itulah, lulusan ITB 1995 ini lalu membeli Yo-yo Rp 100.000 yang
digunakannya untuk belajar. Baginya dengan harga Rp 100.000 cukup mahal untuk ukuran Yo-yo yang dikenalnya sebagai mainan tradisional.
Kerja keras dan latihan demi merebut Yo-o Rp 1 juta itu, membuahkan hasil manis.  "Sejak itu, kecintaan saya dengan permainan Yoyo semakin besar dan terus belajar dan menularkan virus yo-yo dalam komunitas yang ketika itu masih terbatas. Dan pada 2005 saya dengan beberapa teman pecinta Yo-yo di Jakarta kemudian membentuk komunitas Yo-yo In," kata suami Milda Halida.
Pada 2005, pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Subang ini mulai menapaki pentas
Yo-yo Internasional dengan mengikuti Asia Fasifik Yo-yo Contes di Malaysia. Pria yang tidak pernah melepas topinya ini, menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia. Boleh jadi, debutnya di Negeri Jiran 5 tahun lalu itu yang kini mengantarkan Oke sebagai Hero Yo-yo Indonesia yang sejajar dengan Yo-yo master dari negara lainnya.
Berkat ketekunannya menularkan virus yo-yo, kini komunitas yo-yo telah berkembang di
sejumlah kota di Indonesia, tidak hanya di Jakarta tetapi di Bandung, Cimahi, Palembang, Purwakarta, Semarang, Yogyakarta, Subang, Samarinda serta daerah lainnya.
"Dengan banyaknya komunitas, maka eksistensi pemain Yo-yo memiliki wadah dan penyaluran yang tepat melalui banyak event yang digelar. Untuk melahirnya para pemain baru yang sarat bakat," kata Oke
yang dinobatkan ke dalam 30 pemuda Indonesia yang masuk sejarah, saat perayaan Hari Sumpah Pemuda baru-baru ini di Kemenpora.
Selain menjadi juri dalam kontes Yo-yo di banyak negara, juga desainer Yo-yo, Oke dapat
merengkuh suksesnya sebagai duta pariwisata. Karena, dalam setiap perjalannya, ia pun tidak
lupa menyebarkan brosur parawisata Indonesia teruatama Kab. Subang tempatnya bekerja. (Cucu Sumiati/"GM")**



Perjalanan Oke dalam pusaran Yo-yo
-Januari 2000 belajar Yo-Yo, terinspiransi pemain Yo-yo dunia Yo Hans.
- Mengikuti Indonesian ProYo Demonstrator Thn 2000 di Pasar Seni ITB, dan langsung menjadi
juara.
- 2005 membentuk komunitas Yo-yo Indonesia (Yo-in)
- 2005, mengikuti Asia Fasifik Yo-yo Contest
- 2006, mulai menjadi juri dalam kontes yo-yo di Sudan Afrika.
- Mendirikan usaha desiner Yo-yo Indonesia di
www.rosyo.com
- Mendemonstrasikan permainan Yo-yo di Khartoum, Sudan, 2006, 2007,  2008
- 2007, juara DUNCAN Proyo Pog Contest 2007 Hspin Family (yo-yo factory from Switzerland)
- Chairman of Jakarta Yo-Yo Contest 2007
- 2006-2010 menjadi tamu dalam beberapa program televisi.

Selasa, 16 November 2010

Gayus si Raja Fulus

LEBIH dari sepekan ini, Gayus Tambunan selalu mengjadi headline pemberitaan.  Dimulai ketika dia tertangkap kamera fotografer sebuah media saat menonton tenis di Nusa Dua Bali. Dengan rambut palsu dan kacamatanya, tidak mampu mengelabui pandangan orang untuk tidak mengatakan dia adalah Gayus si makelar kasus.


Sontak, keluarnya mafia pajak ini dari rutan Brimob, Depok, menjadi tamparan bagi Polri. Padahal, baru dua minggu Jendral Timur Pradopo menjabat sebagai Kapolri. Sebuah indikasi bahwa suap menyuap di tubuh penegak hukum itu masih akrab dilakoni.  Tidak tanggung-tanggung Gayus merogoh koceknya Rp 388 juta agar dia leluasa bisa keluar masuk sel tahanan. Ajaib bukan? penegakan hukum begitu longgarnya bagi orang yang memiliki duit. Gayus memang rajanya fulus. Dia tahu, institusi manapun dapat mudah disuapnya. Tidak terkecuali Polri juga kejaksaan. Karena isu suap menjadi bentuk simbiosis mutualisme, saling menguntungkan di tubuh institusi tersebut.
Gayus si raja fulus pun akhirnya mengakui orang yang di Bali itu adalah dirinya. Pernyataan itu dilontarkannya dalam sesi persidangan.  Dengan berurai air mata, dia mengatakan alasan kepergiannya, karena rindu dengan keluarganya. Seolah menjadi pembenaran, dia pun menyebutkan selain dirinya, para tahanan lainnya di Mako Brimod juga melakukan hal yang sama.
Skandal Gayus tak pelak merebut perhatian presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam rapat terbatasnya, kemarin, SBY mengaku prihatin dengan buruknya sistem peradilan di tanah air. Meski begitu, SBY tidak akan mencampuri langkah dan kinerja Polri dalam menuntaskan kasus Gayus.**


 

Sabtu, 13 November 2010

Mengenal Mayor dr. Dustira

MENAPAKI potret sejarah masa kolonial Belanda tidak terpisahkan dari banyak peninggalannya di Kota Cimahi. Tidak terhitung berapa gedung yang menjadi saksi jaman penjajahan Nedherland kala itu.
Salah satu heritage yang masih berdiri dengan kokohnya yaitu rumah sakit Dustira. Tidak sulit bertanya dimana lokasi RS. Dustira, karena hampir semua orang tahu, lokasi rumah sakit militer yang telah berdiri sejak 1887. Meskipun saat ini belum ada nama percis jalan rumah sakit yang memiliki lahan 14 hektare.
Rumah Sakit Dustira, tidak sekedar rumah sakit tetapi menjadi salah satu wisata militer yang ada di Cimahi. Meskipun masyarakat telah akrab dan melihat bangunannya yang megah, tapi mungkin tidak banyak yang tahu, kenapa rumah sakit militer itu dinamakan Dustira. Siapakah Dustira?
Ahli sejarah Prof. Nina Lubis menceritakan, Dustira adalah seorang dokter berpangkat mayor bernama lengkap Dustira Prawiraamidjaya. Dia adalah seorang anak dari keluarga ningrat, ayahnya bernama Rd. S. Prawiraamidjaya. Dia dilahirkan di Tasikmalaya pada 25 Juli 1915.
"Dia merupakan anak yang pintar dengan mengawali pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung, lalu melanjutkan sekolahnya di Hogere Burger School (HBS) masih di Bandung. Kemudian menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta yaitu Geneeskundige Hogeschool atau Ika Daigaku pada zaman penjajahan Jepang," terang Nina.
Pada 1945, ketika terjadi revolusi di Surabaya pada 10 November, semua mahasiswa tingkat akhir, termasuk Dustira bertekad turut berjuang. Tetapi, tidak diijinkan oleh tentara. Para mahasiswa Ika Daigaku dibolehkan ikut berperang dengan catatan mengikuti pelatihan terlebih dahulu selama 2 minggu di Tasikmalaya.
Setelah 2 minggu digembleng dalam pendidikan, Dustira ditugaskan membantu keamanan di sisi Siliwangi (sekarang menjadi Kodam Siliwangi) oleh Badan Keamanan Rakyat. Dia ditugaskan di front Padalarang, Cililin dan Batujajar.
Pertempuran terus berlangsung pasca kemerdekaan, karena sekutu menginginkan kembali lagi mengusai Indonesia. Saat ini dengan segala keterbatasan persediaan obat dan peralatan Dustira yang telah lulus menjadi dokter sekuat tenaga berusaha membantu.
Selain membantu para korban perang, pada Maret 1946 terjadi kecelakaan kereta Api yang menewaskan ratusan jiwa. Dustira yang mengalami kelelahan dan terpukul dengan banyaknya korban. Sedangkan ia sendiri tidak dapat menolong dengan optimal karena keterbatasan dalam suasana perang.
"Dalam kondisi tersebut, Dustira jatuh sakit dan dirawat di RS. Immanuel Bandung. Namun akhirnya nyawanya tidak tertolong dan meninggal dunia pasa 17 Maret 1946. Kemudian dimakamkan di Astana Anyar. Pada tahun 1973 makamnya dipindahkan ke Cikutra," jelas Nina.

Sedangkan RS. Dustira awalnya bernama Militaire Hospital yang dibangun pada 1887. Pada tahun 1950, Belanda menyerahkan rumah sakit ini ke TNI. Sejak saat itu namanya menjadi RS. Territorium III. Kemudian, pada 19 Mei 1956 bertepatan dengan HUT Territorium III/Siliwangi ke-10, RS itu diberi nama RS Dustira oleh Panglima Territorium III, Kolonel A Kawilarang. Pemberian nama tersebut sebagai penghargaan terhadap jasa perjuangan Mayor dr Dustira Prawiraamidjaya. **

Jumat, 12 November 2010

Dua Tahun Lalu di Tarakan


KETIKA menunggu kawan yang berangkat piket, iseng saya melihat-lihat file beberapa tahun lalu. Tepatnya ketika saya masih bertugas meliput olahraga. Saya membuka folder peliputan saat PON 2008, di Kaltim. Saat itu, saya ditugaskan di salah satu pulau terluar Pulau Kaltim, Tarakan.
Jarak kota Tarakan dengan Samarinda (pusat kegiatan PON) bukan jarak yang dekat. Untuk menempuh kota yang katanya menjadi Singapura-nya Indonesia menggunakan pesawat kecil. Jadwal penerbangan dari Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan pun tidak setiap hari. Beruntung, karena sedang berlangsungnya PON maka saya bisa langsung berangkat menuju Tarakan, tanpa harus berlama-lama di Balikpapan.
Dengan menempuh perjalanan udara sekitar 30 menit, akhirnya saya tiba di Tarakan. Saya adalah wartawan satu-satunya dari Jabar. Cuaca mendung Kota Tarakan menyambut kedatangan saya bersama rombongan tim catur Jabar yang tiba di Bandara Juwata,  sekitar pukul 11.30 WITA. Waktu itu, ketika saya menginjakkan kaki di Tarakan, udara panas daerah pesisir pantai yang terkenal menyengat nyatanya tidak begitu terasa. Masih tercium tanah basah bekas disiram hujan yang turun pagi hari.
Kepulauan kecil di bagian utara pulau Kalimantan yang terkenal sebagai daerah penghasil migas. Kota ini pun bukan daerah yang asing bagi pecatur Jabar maupun pecatur dari provinsi lainnya. Karena, selama ini Tarakan cukup aktif menggelar even catur berskala nasional maupun Internasional. Selain sebagai tuan rumah catur, ada empat cabor lainnya yang juga dipertandingkan di Tarakan yaitu bridge, aeromedeling, terjun payung, dan biliar.
Tidak banyak wartawan yang ditempatkan di Tarakan. Meski bukan cabor populer seperti sepakbola, tenis, bulutangkis dan macam olahraga pertandingan lainnya, keempat cabor tadi tetap memesona bagi saya.
Sebagai wartawan olahraga, tidak baik memilah milih cabor yang diliputnya. Karena semua penting dan memiliki kontribusi yang sama menyumbangkan medali. Seperti catur yang berhasil menyumbangkan medali emas terbanyak untuk Jabar. Meski Jabar harus terlempar ke posisi 4 dalam kontes PON 2 tahun lalu. **

Pasar Kuda Ada dan Tiada


JIKA melintasi Jln. Sangkuriang, kita akan menemukan pasar kuda. Konon, pasar ini sangat terkenal karena menjadi satu-satunya pasar tradisional yang menjual aneka ragam hewan, khususnya kuda, berikut aksesorinya.
Di sana juga terdapat banyak deretan kandang kuda. Selama ini, pasar kuda menjadi tempat transaksi jual beli kuda dari berbagai daerah di Jabar maupun luar Jabar. Tidak hanya transaksi kuda tunggang, kuda khusus delman pun dijual di sini. Tak heran, pasar kuda yang buka setiap Senin itu diminati banyak pengunjung mulai dari mereka yang hobi kuda sampai tukang delman.
Namun, gambaran semaraknya pasar kuda seperti itu terjadi sekitar tahun 1980 sampai awal tahun 2002. Sekarang, meriahnya pasar kuda sudah tidak ditemui lagi. Namanya masih melegenda, tapi aktivitasnya sudah mati suri. Seperti yang saya jumpai kemarin siang. Tidak ada seekor kuda pun yang berada di pasar kuda. Begitu pula dengan pengunjung, tidak ada seorang pun mampir untuk membeli aksesori. Padahal toko aksesori di pasar kuda ini masih ada yang tersisa, yaitu toko milik Aef Saefudin (58).
Ia mengatakan, awalnya toko aksesori kuda berderet di sepanjang pasar, namun kini yang tersisa hanya toko miliknya. "Sekarang hari Senin, dari pagi hingga siang belum ada seorang pun yang membeli aksesori kuda. Sarebu-rebu oge can beubeunangan. Pasar kuda sekarang mah tinggal mimpi," katanya yang siang itu sedang menunggui toko bersama menantunya, Marasati (42).
Diceritakan, pasar kuda tersebut dulunya sangat terkenal. "Dulu semua kuda yang didatangkan dari Sumbawa maupun kuda dari berbagai daerah lain dipasarkan di sini. Kemudian calon pembeli dari daerah di Jabar seperti Soreang, Padalarang, Bogor, Cianjur, Lampung sampai dari Klantan, Malaysia, juga bertransaksi di sini. Tapi seiring waktu dan pergantian pimpinan pasar, pasar kuda perlahan tapi pasti jadi sepi. Sekarang transaksi lebih sering dilakukan di rumah para bandar kuda di Cijerah," kata Aef yang merupakan warga Bunisari RT 01/RW 05 Gadobangkong, Kab. Bandung Barat.  
Kini, penggerak usaha jual beli kuda dan aksesorinya sedang menunggu kepastian dari pemerintah yang konon bakal memindahkan lokasi pasar kuda ini. "Sebelum di Jln. Sangkuriang, pasar kuda berlokasi di Pasar Atas, kemudian dipindahkan ke sini tahun 1980, lalu akan dipindahkan lagi, tapi sampai saat ini lokasi baru pasar kuda masih belum jelas, masih dalam tahap wacana," ungkapnya yang secara turun-temurun menekuni pembuatan aksesori kuda.
Kendati pasar kuda telah mati suri, Aef tidak memungkiri masih ada order pemesanan untuk aksesori kuda. "Order untuk aksesori lebih banyak dari luar provinsi seperti Lampung," ungkapnya. **

NB: Setiap hari saya melewati Pasar Kuda..masih sama dengan kemarin..

Kolam Berkleus Riwayatmu Kini

MELINTASI jalan di kawasan Baros, Kota Cimahi, kita akan disuguhi pemandangan yang bernuansa zaman kolonial Belanda. Seperti RS Dustira, Gereja St. Ignatius, sampai kolam renang Berkleus.

Berbicara soal kolam renang Berkleus, konon tempat ini menjadi primadona pariwisata sejak puluhan tahun lamanya, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Selain kolam renang, pihak pengelola pun menata tempat ini menjadi arena bermain dengan koleksi hewan semacam kebun binatang kecil. Banyak kenangan yang dilukiskan orangtua dulu tentang betapa menyenangkannya berenang di Berkleus.

Penasaran dengan Berkleus, kemudian saya mendatangi tempat tersebut yang letaknya tidak jauh dari rel kereta api Jln. Baros. Lokasi Berkleus dari jalan raya memang sudah terlihat dengan ditandai banyaknya pohon rindang nan tinggi menjulang. Untuk menuju lokasi harus melalui jalan belakang yang tetap terbuka tanpa pintu.

Saat memasuki Berkleus, nuansa tempo dulu seketika menghipnotis saya. Mata saya langsung tertuju pada dua buah kolam yang terhampar dan sudah tidak terawat. Satu kolam berukuran besar dan satu kolam lagi berukuran lebih kecil. Kolam tersebut kotor dan berlumut meski perangkat untuk berenang seperti tangganya masih terpasang di pinggir kolam.

Kolam yang konon menjadi tempat berenang kaum penjajah yang singgah di Cimahi, dikelilingi fasilitas pendukung yang kondisinya sudah usang. Di sebelah barat terdapat ruangan ganti dan WC yang atap-atapnya sudah lapuk. Begitu pula bangunan kantin dengan arsitektur tempo dulu sekarang tak ubahnya ruangan kosong tanpa penghuni. Kayu-kayunya sudah melepuh, dan cat yang melapisnya tampak memudar.

Kemudian, pandangan saya tertuju pada tempat pemandian yang terletak bersampingan dengan jalan masuk Berkleus. Kendati sudah tidak berfungsi lagi, saya tetap terpesona dengan bentuknya yang unik dan artistik. Temboknya memanjang berwarna biru dilapisi bebatuan kecil yang melingkar setengah lingkaran. Tidak jauh dari tempat pemandian itu, ada pula panggung kecil yang katanya sering dijadikan tempat manggung atau pertunjukan. Tapi, kondisinya sama dengan atribut bangunan lainnya. Usang namun memancing nostalgia bagi Anda yang pernah merasakannya.

Selain kompleks kolang renang Berkleus, luas halaman yang dulunya dijadikan arena bermain masih ada. Berikut patung binatang seperti gajah dan jembatan kecil di atas kolam hias. Suasana Berkleus memang sangat rindang terutama banyaknya pohon-pohon besar yang mengelilinginya. Ada juga kolam ikan yang terbuka bagi masyarakat umum untuk memancing ikan di sana. *** 
Share 

Sunatan Massal Aha..Aha..

HEI sunatan massal..Aha aha..
Sunatan massal..Aha aha..
Ditonton orang berjubal jubal, Banyak tercecer sepatu dan sandal

Hei.. hari bahagia..Aha aha..
Bersuka ria..Aha aha..
Ada yang berjoget tari India, Stambul cha-cha dan tari rabana

Potongan bait lagu Sunatan Massal milik Iwan Fals ini cocok ketika menggambarkan keceriaan sebanyak 62 anak dan orangtua dalam sunatan massal, Jumat (12/11).
Kemarin pagi, suasana gedung B Pemkot Cimahi Jln Rd. Demang Hardjakusuma jauh lebih ramai dari hari biasa. Sejak pukul 06.00 WIB, puluhan bocah lelaki dengan diantarkan orangtuanya mulai memenuhi ruangan tunggu menanti daftar panggilan sunat.
Berbagai ekspresi tergambar. Ada yang tampak senang dengan tersenyum ranum, ada yang
khawatir dan tidak banyak bicara. Terlebih lagi, ketika dokter memanggil namanya untuk masuk ruang sunat. Di ruangan itu, tujuh kasur berjajar dan pasien sunat pun  pasrah
terbaring. Selanjutnya, dokter ahli dan para perawat dari puskesmas se-Kota Cimahi mulai menyunat sebagai salah satu syariat yang harus dilalui anak-anak menuju fase remaja.
Tidak hanya anak-anak yang sudah bersekolah, ada juga anak lelaki yang masih berusia
dibawah lima tahun (batita) menjadi peserta sunat. Sekitar 10-15 menit, proses sunat pun selesai. Dengan wajah penuh kelegaan, setiap anak digendong para orangtuanya. Banyak juga yang langsung berjalan sendiri dan seolah tidak merasakan sakit pasca sunat. Terlebih lagi, sejumlah bingkisan menarik mampu menghibur para pengantin sunat. Seperti pakaian sunat mulai dari sandal, sarung, baju koko hingga kopiah. Juga satu nampan tumpeng hias, roti buaya, kue tart, aneka snack dan angpau Rp 50 ribu yang
melengkapi suka cita di hari bahagia mereka.
Tidak hanya anak-anak, orang tua mereka pun tidak kalah sumringahnya melalui pesta sunatan
massal kemarin. Seperti yang diungkapkan Anas Mansyur (62), yang sengaja datang dari Ciamis untuk menyaksikan sunatan cucunya, Teo Bintang Sahrir (8).
"Iya saya sengaja datang ke Cimahi,
karena ingin antarkan cucu saya disunat. Selama ini kan Teo selalu bilang ke orangtuanya kalau dia mau disunat seperti teman-temanya yang lain," kata Anas.
Serupa juga dilontarkan Tedi Agus Solihin (40) orangtua Faisal Ramdani (7). "Saya mendapat informasi dari RW katanya ada sunatan massal ya kenapa tidak kami manfaatkan fasilitas gratis dari pemerintah ini. Apalagi anak saya sudah pengen banget disunat dan
sekarang baru ada kesempatan," ungkap pedagang kaki lima (PKL) di Jln. Sriwijaya ini.
Fasial sendiri mengaku ia ingin segera disunat biar dapat sepeda. "Iya soalnya kalau udah disunat
bisa dibeliin sepeda," ucapnya polos. ***


NB: ketika berada di ruang sunat, seorang bocah tiba-tiba menyingkapkan sarungnya untuk memperlihatkan "burungnya" yang baru disunat..hahaha..

Bandung Undergroud Sulit Berekspresi

SULITNYA ruang ekspresi bagi Bandung Underground membuat komunitas ini seakan menghilang dari pamor panggung hiburan. Namun siapa sangka, dengan semangat militan, kenyatannya mereka mampu bernafas untuk eksis hingga sekarang.
Potret eksistensi Bandung Undergroud sekarang lebih apik. Bukan dengan ingar bingar mengumpul dalam pertunjukkan dengan massa banyak, seperti konser rutin di GOR Saparua pada masa kejayaanya. Kini, kelompok Bandung Undergroud tersebar di banyak titik di Kota Bandung dan sekitarnya. Untuk gelaran acara musik pun lebih memilih tempat dengan kapasitas penonton terbatas. Tapi, komunitas yang terbangun kini mencerminkan bentuk regenerasi yang berkembang pesat. Tidak melulu harus berkumpul dalam massa yang besar. Namun, potensi berkreasi tetap hidup dan dibangun dalam kelompok yang kecil tapi tersebar sampai ke pelosok. Berarti semangat militansi itu sudah terbentuk oleh generasi sekarang.
Seperti diutarakan, personel grup Haze, Agung Haze.
Menurutnya, generasi sekarang merupakan generasi pengikut dan mereka mengikuti komunitas yang sudah terbangun. Bukan membangun komunitas. Tapi kami bangga, saat ini perkembanggan Bandung Underground berkembang pesat dan mereka mampu mempertahankan semangat militansi agar kreativitas tetap hidup meski dalam ruang ekspresi yang terbatas, karena sejauh ini komunitas ini kurang mendapat dukungan dari pemerintah. Misalnya, perijinan untuk menggelar konser sangat sulit," kata Agung.
Dengan kondisi ini, hanya dengan modal semangat, komunitas Bandung Underground bisa hidup. Agung pun tidak peduli dengan budaya pop yang menampilkan banyak band dengan orentasi nilai ekonomi sehingga laku dipasaran. "Kami memiliki musik sendiri dan pengikut sendiri. Tidak perlu mengikuti selera pasar, Karena dalam kreasi bermusik, komunitas Bandung Underground berbeda alam dengan mereka," tambahnya.
Kendati masalah tempat dan sulitnya birokrasi perijinan menjadi kendala dalam memuntahkan kreatifitas, pada dasarnya Agung menilai selalu ada jalan untuk tetap eksis. Terlebih lagi dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi melalui interner pun dapat dimaksimalkan. "Kami menjalin komunikasi antar sesama komunitas dapat lewat facebook, twitter, blog, ataupun media elektronik lainnya. Tidak selalu harus bertemu muka. Karena kami sadar untuk menyatukan semua komunitas dalam ruang terbuka masih sulit. Sehingga teknologi internet dapat dimaksimalkan. Termasuk mencari peluang untuk manggung di luar negeri. Karena, tidak sedikit band-band underground ini sudah manggung di mancanegara," papar salah seoraang pioner komunitas Bandung Underground.
Mengenang masa lalu, saat Bandung Underground mulai tumbuh, Eko Riyantono salah seorang pendirinya mengaku banyak suka duka yang masih terekam sampai sekarang. "Pokoknya banyak suka dan duka, kami seringkali kesulitan mencari tempat untuk manggung, mulai dari perijinan dan penolakan masyarakat, kucing-kucingan dengan aparat kepolisian. Sampai sempat pula manggung tanpa ada penontonnya," ungkap Eko.
Bila melihat perkembangan sejarahnya, Bandung Underground mulai menancapkan eksistensinya pada awal 1994. Ketika sebuah studio musik legendaris, Reverse di daerah Sukasenang menjadi cikal bakal scene rock underground.  Studio yang digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi melebarkan sayapnya di bisnis lain dengan menjual CD, kaset, poster, t-shirt, dan aksesoris lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang meluncurkan liris pertamanya tahun 1997 berupa album kompilasi bertitel "Masaindahbanget sekalipisan" yang diisi mayoritas band asal Bandung, Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room. Pada masa itu, PAS menjadi band pertama yang meluncurkan album indipendent. Meroketnya band-band beraliran rock kala itu tidak lepas dari peran salah satu stasiun radio yang sering memutarkan band-band baru dan beraliran metal.
Sejarah Bandung Underground tidak bisa dilepaskan dari sekelompok anak-anak metal yang tergabung dalam komunitas Ujungberung. Dalam eranya sekitar awal tahun 1990-an, berdiri studio Palapa yang banyak membesarkan band-band aliran cadas. Seperti Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Melejitnya musik underground yang menjadi bagian dari lifestyle anak-anak muda Bandung didukung melalui media indie yang membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.
Satu lagi, sejarah musik underground tidak terpisahkan dari keberadaan GOR Saparua. Sebuah tempat yang menjadi saksi lahirnya band-band indie termasuk underground. Saparua menjadi tempat keramat yang menyelenggarakan pertunjukan fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground.
Kota Bandung memang menyimpan banyak energi kreativitas yang tiada batas, termasuk dalam perkembangan musik underground yang kini sudah menjalar sampai ke pelosok tanah air. Maka tidak salah jika Bandung ditasbihkan sebagai barometer musik underground yang memiliki genre musik beragam seperti industrial-techno, hardcore, brutal death metal, punk, hardrock, ska, alternative, black metal dan lainnya. Kini sudah ada 500 band lebih yang mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari Bandung Undergrund. Tentu saja, keragaman kreativitas yang membanggakan dan kita adalah bagian dari mereka. (cucu sumiati/"GM")**

Sepatu Murah di Pasar Murah

KOTA Bandung adalah surga bagi penggila fesyen. Banyak toko berderet di seantero kota maupun di daerah pinggiran yang menjajakan produk berkualitas. Tidak hanya itu, banyak pula pusat penjualan sejumlah produk pasar seperti sepatu dan tas.
Selain di Cibaduyut dan Kota Kembang, semarak penjualan tas dan sepatu juga akan ditemukan di sepanjang Jln. Karapitan. Tidak hanya yang berderet di pinggir jalan, pusat penjualan tas dan sepatu murah dapat dijajal di sebuah gang yang kini telah disulap menjadi deretan kios tas dan sepatu. Orang lebih mengenalnya dengan Gang Marema. Meskipun kini telah berganti nama menjadi Pasar Murah Kepatihan.
Di sana, aneka tas dan sepatu dengan berbagai model terpajang cantik dan menarik sejumlah pembeli. Pangsa pasar pun beragam mulai dari kalangan pekerja, mahasiswa dan pelajar. Produk fesyen dengan harga murah dan model kekinian praktis sangat memanjakan pembeli yang mayoritas adalah kaum hawa.
Jika mengamati trend tas dan sepatu yang banyak terpajang di pasar murah, kebanyakan adalah sepatu wanita dengan desain pentopel juga bentuk lainnya seperi sepatu sandal yang cocok dikenakan saat jalan-jalan santai.
Untuk model tas, kini yang sedang trendi adalah tas-tas dengan hiasan pita di bagian selendangnya. Harga tas selendang berpita ini dibandrol dengan harga Rp 80 ribu. Tapi jangan takut kemahalan, karena harga segitu adalah harga untuk ditawar. Biasanya, harga normal untuk jenis tas tersebut yang berbahan kulit imitasi sekitar Rp 50 ribu.
Ada juga tas yang sedang digandrungi anak-anak remaja, yaitu tas bermotif polkadot dengan bentuk kotak yang bisa ditenteng atau digendong. Harganya sekitar Rp 50 ribu. Juga tas lainnya dengan bahan kulit yang lebih halus menyerupai produk yang aslinya yang dibandrol dengan kisaran harga Rp 100 ribu. ***
 

HEARTBEAT, PNS Pecandu Psychadelic

MENAPAKI perjalanan Beatles sebagai band fenomenal tidak terlepaskan di era Psychadelic tahun 1967. Menyinggung era itu, saya tidak akan menyinggung soal personel Beatles yang saat itu kecanduan penyalahgunaan obat. Tetapi bagaimana karya-karyanya mendongkrak budaya pop dan saat itu menjadi tahun yang penting dalam sejarah rock n roll di dunia. 
Selain dari keragaman musik dan improvisasi yang maha dahyat. Periode ini diwarnai banyak eksperimen diantaranya lagu Strawberry Fields Forever. Selain itu, lirik yang diciptakannya lebih banyak membahas isu sosial. Album yang dihasilkan di era itu ada 2, Pepper's Lonely Hearts Club Band dan Magical Mystery Tour.
Tidak banyak Batlemania yang mengusung musik Beatles di era psychadelic. Tetapi HeartBeat rupanya mampu memberikan warna lain, mereka tampil apik membawakan lagu dan menyuguhkan musik Beatles era Psychadelic atau masa kemapanan grup band asal Liverpool ini menjamah pecandu musik ini sejagat raya.
Seperti penampilan Hearbeat dalam gelaran Beatles Nigt Road to Beatleweek Festival Liverpool 2011, Sabtu (23/10) malam lalu. Para personelnya, Drg Agus Rasjidi ( vokal ,gitar piano), Edwin Mustafa (vokal, piano, keyboard), dr Yanwar Salman  (vokal keyboard), Yuyus Ruslaiman (bas), Cahyadi Maulana (gitar) dan Ari Sundara (drum), Edwin Zakaria (vokal. Piano), Pupuh, Afandi, Yayan (terompet), Sansan, Ilham, Yadi (terombon bariton dan tuba), mampu memikat. Selain keragaman intrumen musik, penampilan dengan kostum kain sari pun membuat penonton terlempar dalam nostalgia Beatle di era 1967. 

HeartBeat berusaha maksimal dalam mempersiapkan musik, lagu yang akan dibawakan termasuk kostum yang dikenakan. Meskipun memiliki idealisme dalam menyajikan musik Beatles, Agus, sang kapten Heatbeat, tetap memandang bahwa musik adalah hobi dan kesenangan. "Bukan untuk dikompetisikan. Kalau bagus mangga tapi kalau teu katampi nggak apa-apa. Karena kecintaan kami pada musik The Beatles tidak lebih dari rekreasi untuk menghilangkan ketegangan dalam pekerjaan. Karena para personel band ini semuanya PNS," ungkapnya dengan merendah. ***

"Beatles" Hipnotis Beatlemania

SABTU, 23 Oktober 2010 sekitar pukul 20.00 WIB, suasana JBS Cafe and Bar di Hotel Hyatt Regensy lebih meriah dari biasanya. Pengunjung mulai berdatangan dengan mengantongi tiket Rp 50 ribu. Ruangan dengan kapasitas penonton 100 orang seketika penuh. Mereka menantikan penampilan dua band terbaik dalam Beatles Night Road to Liverpool yang digelar Bandung Beatles Community (BBComm) Indonesia.
Ya, suasana "Beatles Night" saat itu lebih semarak dari penampilan biasanya. Tidak berlebihan jika malam itu menjadi ajang "Battle Beatles", bagi dua band beatlemania. Tentu saja lantaran kualitas kedua band Beatlemania sangat luar biasa.
Perelaran "Beatles Night" dibuka oleh Uncle John. Penampilan anak-anak muda penerus beatlemania ini menghanyutkan suasana, sebelum menu utama HeartBeat dan Duplicate tersaji.
Tepat pukul 21.00 WIB, suasana lebih semarak saat Duplicate tampil membawakan hits Beatles yang hingga kini terasa tak usang. Diawali lagu "If I Needed", "A Hard Days Night", "If I Fell", "This Boy", "Thank You Girl", "Roll Over Beethoven", "Hey Jude", "Drive My Car", "We Can Work It Out", "Let It Be" , hingga tembang "Love Me Do", melantun apik seapik penampilan dan kostum Duplicate dengan stelan jas hijau tua.
Telinga penikmat ruangan samar itu menjadi seakan terbawa dalam nuansa era '70-an. Semua itu lantaran Duplicate membawakannya dengan improvisasi suara tanpa mengubah arange musik. Jika The Beatles lebih dominan membawakan tembang dengan double vokal, Duplicate lebih menonjolkan tiga suara dari setiap personelnya, Nelson Panjaitan (vokal), Apul Panjaitan (bas), dan Gengen (lead gitar). Tentu saja harmonisasi dilengkapi penampilan Rahmat (drum)
dan Feli (keyboard). Band ini kian eksis dengan dimanajeri Kombes Pol. Drs. Joni Jumhana.
Nuansa musik Eropa makin kental saat penonton ikut bernyanyi. Lagu-lagu melow pun kian menghipnotis beatlemania bernostalgia di masanya. Terutama lagu "Hey Jude" yang liriknya sudah pasti berada di luar kepala para penikmat malam itu.

Tampil Beda
Ketika Duplicate sedang memanjakan penonton lewat lantunan yang memikat, di balik panggung, tampak personel HeartBeat sedang mempersiapkan aksi panggung agartidak kalah memukaunya.
Berbeda dengan Duplicate, HeartBaet malam itu mempersiapkan penampilan berbeda. Mereka memilih bergaya Beatles saat grup band yang digawangi John Lenon ini menapaki masa kematangan dalam bermusik dan berkarier. Ya, di era 1967, saat itu para personel Beatles menyapa penggemarnya dengan menggunakan kostum berbahan kain sari India. Begitu juga HeartBeat malam itu, yang keren sejatinya The Beatles.
Tak hanya penampilan, band yang diisi para PNS Kab. Sumedang ini, membawakan lagu era Psychadelic, seperti "Magical Mitery Tour" yang menjadi lagu pembuka konser, Go To Get You In to My Life, Glass Onion, Penny Lane, With a Little Help From My Friend, Hello Good Bye, dan Happieness Is a Warn Gun, melantun sempurna.
Malam kian larut, penonton lebih bergairah saat menyaksikan penampilan HeartBeat. Berbeda dengan Duplicate yang kuat dalam vokal, HeartBeat lebih menonjolkan beragamnya instrumen musik yang menambah harmoni indah setiap lagu yang dibawakan.
HeartBeat yang diisi Drg. Agus Rasjidi (vokal, gitar, dan piano), Edwin Mustafa (vokal, piano, keyboard), dr. Yanwar Salman (vokal, keyboard), Yuyus Ruslaiman (bas), Cahyadi Maulana (gitar) dan Ari Sundara (drum), Edwin Zakaria (vokal, Piano), Pupuh, Afandi, Yayan
(terompet), Sansan, Ilham, Yadi (terombon bariton dan tuba), tampil beda malam itu.
Dengan jumlah personel yang banyak dengan memegang alat musik berbeda, tak ubahnya penampilan HeartBeat seperti pertunjukan orkestra mini. Antusias penonton makin memuncak. Menggebu dalam entakan musik nuansa rock n roll. Apalagi, aksi para personel yang memukau karena berintekaksi langsung dengan penontonnya.
Bahkan, beberapa tembang dibawakan merupakan request beatlemania yang menyesaki ruangan itu.
Makin larut, ternyata tak hanya generasi tua yang datang, para pemuja Beatles ini didominasi anak-anak muda. Penampilan berbeda itu yang akhirnya membawa HeartBeat terpilih mengikuti Beatlesweek Festival Liverpool 2011. Karena keunikan dan kekayaan konsep bermusik mereka. ***

NB: saat peliputan, tak luput saya menjadi korban hipnotisnya.. 

Rabu, 10 November 2010

akh..

Akh, sebaiknya kunikmati saja roda waktu yang semakin mengecil ini. Meski banyak janji yang kuabaikan, karena waktu yang tidak pernah memihakku. 
Mulai sekarang, jangan kau salahkan aku yang jauh dari kesempurnaan.

Rabu (10/11)..saat hujan menyapaku.. 
 

Senin, 08 November 2010

Perempuan Berteman Hujan

PEKERJAAN jurnalis mengantarkan saya melalui banyak perjalanan demi menjemput peristiwa. Tidak hanya perjalanan yang menyenangkan tapi perjalanan yang menantang, dengan menaklukkan hujan.
Hujan sering menjadi teman dalam setiap perjalanan. Hujan yang selalu datang tidak sendirian. Kadang butirannya kecil dan hanya menyapu kulit saya yang kering. Kadang butirannya besar dan langsung membuat saya kuyup. 
Dulu sebelum saya mengenal dan berteman dengannya, dia sering menjadi penghalang saya ketika berpergian dan beraktifitas. Tetapi sekarang, saya telah berteman dengannya. Karena saya tidak bisa berdiam diri hanya karena kadatangannya. Meski kadang saya dibuat takut, khawatir dan dingin olehnya. 
Sering pula saya dibuat tenang ketika mendengar rintikannya dibalik selimut tebal. Atau di balik jendela rumah, saat setiap tetesnya menyegarkan pekarangan. 
Sekarang, seringnya saya bercengrama dengan hujan saat di perjalanan. Seperti ketika saya berada di Kp. Legok Hayam, Desa Giri Mekar beberapa bulan lalu. Saat itu, terjadi tanah ambles dan saya terjebak dibuatnya. Saya tidak bisa pulang cepat, karena hujan terus meradang. Disertai angin kencang yang menyapu sebagian tenda-tenda pengungsian warga sekitar. Saya takut, tapi saya tahu, hujan adalah kawan setia.**

-:tidak puas saya menulis tentang hujan. Karena lelah dan ngantuk, saya harus tidur. esok pagi kembali dengan rutinitas yang sama..semoga lebih indah dari hari ini... 

Sabtu, 06 November 2010

"Tenggelam" di Pantai Lokh Nga

KETIKA melihat penampilan sanggar Anak Ceria di Indonesia Mencari Bakat, tiba-tiba saya ingin bercerita tentang Aceh. Karena anak-anak tadi merupakan anak-anak korban tsunami Aceh lima tahun silam.
Sepotong cerita tentang Aceh, bermula ketika saya ditugaskan ke daerah Serambi Mekah. Sebenarnya, tidak ada hubungannya dengan liputan tsunami. Saya berangkat ke sana untuk peliputan Persib saat melawan Persiraja Banda Aceh, di Kompetisi Liga Utama, musim 2006-2007 lalu.
Setahun berlalu, luka tsunami sepertinya sudah terhapus saat saya menginjakkan kaki di Bandara Sultan Iskandar Muda. Beberapa supir taxi bermobil kijang, saling berebut mengantarkan saya bersama dua teman saya, Kang Gurney dan Kang Feri (fotografer dan wartawan PR) menuju hotel Sultan yang tidak jauh dari bandara.
Meskipun infrastruktur Aceh telah berangsur pulih, tetapi luka trauma rupanya masih dirasakan masyarakat sekitar. Seperti yang dilontarkan Abang (supir taxi) yang mengantarkan kami. Spontan dia bercerita ketika kami melewati jembatan. "Dulu waktu tsunami, sungai ini penuh dengan mayat," celetuknya.
Kesedihan dan rasa kehilangan pun diucapkannya, saat bercerita  keluarganya yang hilang tak berjejak karena tsunami. 
Belum selesai dia bercerita, akhirnya kami tiba di penginapan. Malam mulai larut dan kami langsung beristirahat. Memeluk mimpi, karena tugas liputan pagi menanti.
Jumat pagi, usai meliput latihan Persib, saya mendapat telpon dari seorang teman lama yang kebetulan bertugas di Aceh. Mahdi, (wartawan Kompas) rupanya akan mengajak kami berkeliling, sekedar kuliner menyantap makanan khas Aceh juga mengunjungi tempat bersejarah nan eksotik.
Dengan cuaca panas lembab, tidak banyak yang kami kunjungi. Terlebih lagi teman-teman saya harus menunaikan shalat Jumat. Saya pun kembali ke hotel untuk menulis mengirim berita. Wisata belum berakhir, karena Mahdi berjanji akan mengajak kami ke pusat jajanan Aceh, di Jln. Dipenogoro. Cukup dengan berjalan kaki menuju tempat sana.
Setelah pekerjaan selesai, dan usai shalat magrib, kami bergegas menuju lapangan di Jln Dipenogoro. Ingar bingar lampu malam kami nikmati di tengah musim kemarau kala itu. Segelas susu telur menemani obrolan kami kala itu. Juga menu lainnya yang kami pesan untuk menghilangkan kepenasaranan akan makanan khas Aceh. 
Sabtu pagi, tidak ada agenda latihan. Sore harinya, Persib akan bertandang ke kandang Persiraja. Maka, kesempatan itu kami manfaatkan untuk mengunjungi Pantai Lokh Nga. Tentu saja, atas referensi Mahdi, makanya kami penarasan untuk menjamah ombak dan batu karangnya. Karena, keindahan tidak tampak utuh tanpa menyelaminya. 
Pukul 05.30 WIB kami mulai bersiap. Rasanya tidak lengkap jika tugas peliputan tidak diselingi wisata. Atau berwisata sambil liputan? hahha..pokoknya niat liputan atau wisata intinya kan jalan-jalan, yang membuat hidup lebih menyenangkan.
Kami menggunakan labi-labi (semacam angkot) dengan duduk di belakang dan saling berhadapan. Perjalanan menuju terminal akhir cukup jauh memakan waktu 45 menit. Setelah sampai, kami berjalan kaki sekitar 1km menuju pantai. Sepanjang jalan, kami menikmati pemandangan yang mengagumkan. Banyak rumah kayu bertingkat yang baru dibangun dari bantuan pembangunan dunia USAID. Juga kedai-kedai kopi Aceh yang juga menjual roti ikan (roti berbentuk ikan, rasanya seperti kue cubit). 
Aroma pantai mulai terasa. Seperti suara ombak yang menyapa kami. Juga banyaknya rusa berkeliaran  bebas di sekitar rimba pinggiran pantai. Tidak sabar, saya ingin segera tiba. 
Langkah kaki kemudian berlari kecil, ketika saya melihat sebuah tugu dan nisan bertuliskan kuburan massal para korban tsunami. ya, kuburan massal itu hanya berjarak sekitar 100 meter dari pantai.
Akhirnya saya dapat menyentuh pasir pantai. Bersih dan putih. Juga batu-batu karang yang elok, membuat saya ingin duduk untuk sekedar menikmati pemandangan. Juga mengabadikan dengan jepretan kamera milik Kang Gurni dan Mahdi. Sungguh menyenangkan. Bebas bercengkrama dengan alam yang mengagumkan. 
Hmm... setiap bercerita tentang Aceh, selalu menenggelamkan saya di Pantai Lokh Nga.**












Me vs Deadline

 MENULIS tidak terpisahkan dalam kehidupanku. Sekedar keisengan atau memang karena kebutuhan, membuat aku harus menulis. Seperti tulisanku di bawah ini, aku menemukannya di antara coretan-coretanku yang tidak berimba. Bahkan aku tidak ingat kapan aku menulisnya. Paling tidak, tulisanku mewakili perasaanku saat itu, salah satunya bercerita tentang deadline. Maka aku menulis judul, Me versus Deadline.
Tidak salahnya jika aku menampilkannya di blog ini. Sekedar membacanya dengan ditemani secangkir teh hangat, ketika hujan pun mulai lebat,,Sabtu (6/11).

HAMPA
Kembali sepi menertawakan kesendirianku...
Dalam kuasa yang terbatas
Saat cinta tidak berbalas
Ingin hilang saat  jiwa tidak lagi berbentuk
Ingin terbang tapi raga telah remuk
Hanya pasrah dalam guratan takdir
Memeluk rasa
Menjamahnya dan bercengkrama
Sampai aku tenggelam
Bercinta dengan air mata tanpa harus mengiba (by: ucu)


KEMARIN DAN HARI INI
Kemarin dan hari ini aku masih seperti ini
dengan nada dan suara yang sama
tentang sepi, sendiri dan rasa hampa
bukankan aku punya hak untuk bahagia

Kemarin dan hari ini aku masih seperti ini
Tentang cerita kehilangan
Tentang rasa yang terabaikan
Tidak dibela dan disia-siakan

Kemarin dan hari ini aku masih seperti ini
Membangun mimpi lalu sekejap menghapusnya
Tanpa banyak kata juga tanpa suara
Jika kelak dapat membuatku bahagia (by. Ucu)

TENTANG PL
Perempuan itu cantik, dan aku punya duit
Jadi apa masalahnya?
Urusannya beres kan,
Aku menyukainya dan dia butuh uangku
Jadi apa masalahnya?
Sudahlah, ini kehidupan sayang
Bukankah hidup tidak lebih dari deretan kekonyolan



Deadline (part I)
Kunikmati saja hidup yang penuh tekanan ini
Meskipun dunia terasa mengecil
Dan jarum jam tidak bersahabat
Hentakannya memaksa seluruh cerita tentang kehidupan
Menyerah pada batas waktu pada keterbatasan waktu
(Besok dan hari-hari mendatang Selalu tidak bisa cepat pulang) (by. Enton Supriatna)

Deadline (part II)
Andai bumi dapat berputar lebih lama
Andai sinar matahari kunikmati panjang
Andai malam tidak terlalu cepat berganti pagi
Andai poros bumi memiliki jeda dalam putarannya
Andai detik jam sejenak berhenti berdetak
Karena aku sedang ingin bebas
Lepas dari rutinitas
Ijinkan aku sebentar bermalas
Melupakan segala abdi dan tugas


Deadline (Part III)
Aku, kamu dan dia sama saja
Kita pemburu berita
Hari ini ada agenda apa ya?
Koq belum ada TKP,
Padahal mentari terus bergerak ke ufuk barat
Pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, apa lagi libur?
Para pelaku kejahatan ternyata sudah kompromi
Mereka tidak dulu beraksi, tidak dulu unjuk gigi
Membiarkan wartawan termangu tanpa liputan berarti
Bukanlah menulis berita menjadi harga mati?
Listing berita terus mengejarmu
Wartawan tanpa berita? apa kata dunia



Deadline (part IV)
Sudahlah kita akhiri permusuhan ini
Karena kau yang membuat aku berkarya
Energi yang tidak terbantahkan
Meski aku dibuat jatuh bangun

Sudahlah kita akhiri permusuhan ini
Aku tidak akan lari dari kenyataan
Demi komitmen yang harus dipertahankan
Antara aku dan kamu

Sudahlah kita akhiri permusuhan ini
Sepertinya damai itu lebih indah
Aku akan memenuhi kewajibanku
Menjalankan semua titah, demi kamu.

Sudahlah kita akhiri permusuhan ini
Sekarang aku tidak akan lagi mengeluh
(By: Ucu)

Deadline (Part V)
Bukankah lebih penting mempertahkan kebahagian
Daripada menyerah pada komitmen bernama deadline



Dukamu adalah bahagiaku
Tangisanmu adalah cerita bagiku
Urusan nyawa hadiah buatku
Tragedy dan bencana apalagi itu
Aku dengan duniaku
Meski nurani semakin dipinggirkan
Egois yang merajai
Demi pekerjaan atau kepuasan?

RASA
Memikirkanmu mengubah pemahamanku tentang rasa yang ternyata masih sulit definisikan.
Menjamah hatimu serumit akalku menerjemahkan cinta.
Meloncat-loncat, mendekap rasa yang kini sudah memuncak.

Tentang aku yang teramat mencintaimu
Mengabdi dalam kesetiaan tanpa batas
Meskipun ada bimbang yang mulai meradang
Injinkan aku bertahan hingga Tuhan memberikan jalan terbaik untukku, untukmu dan untuk kita

Tentang aku yang teramat mencintaimu
Masih sulit menerjemahkan apakah aku bertepuk sebelah tangan
Terlalu perih jika kunikmati cinta sendiri
Tanpa bersuara..tanpa kata, tanpa nada asmara

Tentang aku yang teramat mencintaimu
Hingga tidak ada kesempatan untuk melihat keindahan dunia lain
Dunia yang mungkin lebih indah dari kamu
Tapi aku lebih  suka untuk menutup mata, krena tetap memilihmu


Pantai…

Sayang, sekarang aku sedang di Nusawiru
tidak sabar aku ingin segera melihat pantai
katanya di Pangandaran sedang ada festival laying-layang
pastinya lebih indah jika aku menikmatinya bersamamu


perih
kuharap perih ini segera berlalu…tapi rasanya jarum jam bertedak dengan sangat lambat..ingin segera aku menjemput bahagia di ujung sana..sebelum semuanya hilang.