Sabtu, 13 November 2010

Mengenal Mayor dr. Dustira

MENAPAKI potret sejarah masa kolonial Belanda tidak terpisahkan dari banyak peninggalannya di Kota Cimahi. Tidak terhitung berapa gedung yang menjadi saksi jaman penjajahan Nedherland kala itu.
Salah satu heritage yang masih berdiri dengan kokohnya yaitu rumah sakit Dustira. Tidak sulit bertanya dimana lokasi RS. Dustira, karena hampir semua orang tahu, lokasi rumah sakit militer yang telah berdiri sejak 1887. Meskipun saat ini belum ada nama percis jalan rumah sakit yang memiliki lahan 14 hektare.
Rumah Sakit Dustira, tidak sekedar rumah sakit tetapi menjadi salah satu wisata militer yang ada di Cimahi. Meskipun masyarakat telah akrab dan melihat bangunannya yang megah, tapi mungkin tidak banyak yang tahu, kenapa rumah sakit militer itu dinamakan Dustira. Siapakah Dustira?
Ahli sejarah Prof. Nina Lubis menceritakan, Dustira adalah seorang dokter berpangkat mayor bernama lengkap Dustira Prawiraamidjaya. Dia adalah seorang anak dari keluarga ningrat, ayahnya bernama Rd. S. Prawiraamidjaya. Dia dilahirkan di Tasikmalaya pada 25 Juli 1915.
"Dia merupakan anak yang pintar dengan mengawali pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) di Bandung, lalu melanjutkan sekolahnya di Hogere Burger School (HBS) masih di Bandung. Kemudian menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta yaitu Geneeskundige Hogeschool atau Ika Daigaku pada zaman penjajahan Jepang," terang Nina.
Pada 1945, ketika terjadi revolusi di Surabaya pada 10 November, semua mahasiswa tingkat akhir, termasuk Dustira bertekad turut berjuang. Tetapi, tidak diijinkan oleh tentara. Para mahasiswa Ika Daigaku dibolehkan ikut berperang dengan catatan mengikuti pelatihan terlebih dahulu selama 2 minggu di Tasikmalaya.
Setelah 2 minggu digembleng dalam pendidikan, Dustira ditugaskan membantu keamanan di sisi Siliwangi (sekarang menjadi Kodam Siliwangi) oleh Badan Keamanan Rakyat. Dia ditugaskan di front Padalarang, Cililin dan Batujajar.
Pertempuran terus berlangsung pasca kemerdekaan, karena sekutu menginginkan kembali lagi mengusai Indonesia. Saat ini dengan segala keterbatasan persediaan obat dan peralatan Dustira yang telah lulus menjadi dokter sekuat tenaga berusaha membantu.
Selain membantu para korban perang, pada Maret 1946 terjadi kecelakaan kereta Api yang menewaskan ratusan jiwa. Dustira yang mengalami kelelahan dan terpukul dengan banyaknya korban. Sedangkan ia sendiri tidak dapat menolong dengan optimal karena keterbatasan dalam suasana perang.
"Dalam kondisi tersebut, Dustira jatuh sakit dan dirawat di RS. Immanuel Bandung. Namun akhirnya nyawanya tidak tertolong dan meninggal dunia pasa 17 Maret 1946. Kemudian dimakamkan di Astana Anyar. Pada tahun 1973 makamnya dipindahkan ke Cikutra," jelas Nina.

Sedangkan RS. Dustira awalnya bernama Militaire Hospital yang dibangun pada 1887. Pada tahun 1950, Belanda menyerahkan rumah sakit ini ke TNI. Sejak saat itu namanya menjadi RS. Territorium III. Kemudian, pada 19 Mei 1956 bertepatan dengan HUT Territorium III/Siliwangi ke-10, RS itu diberi nama RS Dustira oleh Panglima Territorium III, Kolonel A Kawilarang. Pemberian nama tersebut sebagai penghargaan terhadap jasa perjuangan Mayor dr Dustira Prawiraamidjaya. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar